Social Media a "Silent Killer" of Your Mental Health



Mental Health Dalam Social Media

 

 

Mental health dan social media merupakan dua kata yang menarik. Banyak orang yang berpendapat bahwa social media itu memotivasi dan mencerahkan hari-hari kalian. Tapi ada juga yang karena melihat social media menjadi minder, kurang percaya diri, dan merasa kurang dalam banyak hal dibandingkan dengan teman yang lain.

So, apa itu social media ? social media adalah suatu teknologi internet, dimana penggunaanya bisa memuat dan membuat berbagi informasi dan berinteraksi dengan pengguna-pengguna lain. Pengguna social media ada beberapa jenis diantaranya yaitu:

1. Unplugged/Jarang/Hampir tidak pernah

Kelompok orang-orang yang sangat jarang atau hampir tidak pernah menggunakan social media. Jadi, interaksinya lebih ke real world lewat komunikasi secara langsung dan penggunaan social medianya minimal tapi bukan berarti tidak sama sekali menggunakan komputer atau social media.

2. Diffuse dabblers dan Concentrated dabblers

Pengguna social media sekedar lewat saja artinya intensitas penggunaan social medianya tidak terlalu tinggi sekitar 50%. Jadi, sehari-hari tidak perlu bermain social media, masih ada interaksi sosial dengan orang-orang lain. Dan orang-orang yang tidak mengalami problematic social media use. Diffuse dabblers adalah orang yang menggunakan banyak platform social media seperti Instagram, Twitter, Youtube, WhatsApp, Facebook, dan lainnya. Sedangkan concentrated dabblers adalah lebih konsentrasi ke satu social media misalnya fokus ke instagram saja tidak sering memakai yang lainnya.

3. Connected/Terhubung

Pengguna social media yang intensitasnya tinggi, bisa satu platform atau banyak platform. Orang ini merasa menggunakan social media merupakan kebutuhan dan bagian dari kehidupan mereka.

4. Wired/Tidak Terlepas

Sulit untuk lepas dari social media, ini merupakan tingkatan yang lebih tinggi ketergantungannya. Ciri khususnya memiliki problematic social media use. Apa sih problematic social media use ? Problematic social media use yaitu ketika seseorang mulai merasa ketergantungan dengan penggunaan social media. Kondisi dimana seseorang merasa social media merupakan kebutuhan dan mulai mengisi kekosongannya. Misalnya ketika seseorang stress, maka pelampiasannya ke social media. Saat nilainya jelek, banyak pikiran, atau mendapat teguran keras di depan umum melampiaskannya dengan membuat status di social media. Mencari pencerahan atau kebahagiaan dari social media untuk mendapatkan motivasi. Tidak selalu buruk sebenarnya namun harus menghindari agar tidak ketergantungan dengan social media. Orang-orang yang tidak terlepas dari social media ini, tidak hanya berharap mengisi kekosongan dari social media dan mendapatkan problem solving tetapi juga berharap mendapatkan feedback social media. Ini yang secara psikologi sudah mulai untuk diwaspadai.


Bagaimana sih social media dapat mempengaruhi mental health atau membuat seseorang depresi atau cemas ?

1. Idealized Body Image/Beauty Standard

Kebanyakan dari social media menunjukkan hal-hal yang hits seperti fisik yang bagus misalnya artis yang memiliki penampilan cantik/ganteng. Hal ini yang secara tidak sadar dikonsumsi dan lihat setiap hari di social media secara berulang-ulang “ooh…yang ini eksis, cantik, ganteng hingga masuk ke alam bawah sadar kita standar cantik itu seperti ini loh, kita dibilang cantik seperti ini”. Sehingga ketika kita bercermin muncullah rasa kurang rasa percaya diri karena kita cenderung membandingkan diri dengan orang lain maka menimbulkan kurang percaya diri. Hal ini termasuk pengaruh negatif social media terhadap seseorang.

2. Fear of Missing Out atau FOMO

Merasa takut ketinggalan dengan berita-berita yang sedang trend, takut ketika teman-teman sedang membicarakan sesuatu yang lagi happening dan booming. Namun, kita kurang paham dan muncul ketakutan tidak akan diterima di suatu lingkungan pertemanan. Sehingga, takut tidak update dan hal ini dapat membuat seseorang terobsesi dengan social media. Karena, merasa bahwa seseorang bisa dikenal dengan lingkungan pertamannya sehingga penting baginya untuk selalu update mengenai informasi di social media hingga lebih mementingkan dunia maya daripada dunia nyata.

3. Social Media Addiction

Ketergantungan social media inilah yang terjadi di otak kita secara biologis. Ketika kita menerima suatu penghargaan, maka otak akan memproduksi atau mengeluarkan Dopamine. Saat kita mendapatkan like dan comment di social media yang banyak viewernya, pasti seseorang merasa senang, postingannya berarti bagus atau ketika seseorang melihat akun social medianya banyak yang follow, dia akan senang karena otak akan menerima aliran dopamine di pusat reward atau pusat penghargaan di otak. Rasa senang yang banyak ini didapatkan seseorang dengan effort atau usaha yang sedikit, akhirnya otak menginginkan kesenangan ini secara terus-menerus. Ketika seseorang memposting foto atau video maka orang tersebut menginginkan yang like dan comment yang banyak. Itu merupakan sifat dari kesenangan maka ketika orang tersebut memposting foto dan video namun tidak mendapatkan like dan comment sesuai yang diharapkan. Akhirnya, timbul rasa kecemasan dan rasa tidak tidak puas diri yang membuat kurang percaya diri dan mood buruk hanya dari like dan comment seseorang di dunia maya. Karena sejatinya manusia adalah makhluk sosial namun hindari ketergantungan yang berlebihan dalam menggunakan teknologi.

4. Social Media Lebih Penting daripada Kehidupan Nyata

Ini dampak buruk selanjutnya, hindari kebahagiaan yang tergantung dari like yang di dapatkan di instagram dan seberapa terkenal di social media.

5. Ketika Social Media Menjadi Stress Coping Mechanism

Mekanisme seseorang dalam menghadapi stress dengan mencari solusi lewat social media. Menjadi addicted dan ketergantungan dengan social media untuk mencari kesenangan dan problem solving demi memecahkan permasalahannya.


Lalu, apakah saya termasuk kecanduan social media ? Maka dari itu kita perlu mengenali tanda-tanda kecanduan social media. Namun sebelumnya, cobalah untuk menjawab pertanyaan dibawah ini.

  1. Apakah kalian menghabiskan banyak waktu memikirkan Social Media atau merencanakan ingin memakai social media ? Ya/Tidak
  2. Apakah kalian merasa ada dorongan untuk memakai social media terus menerus ? Ya/Tidak
  3. Apakah kalian menggunakan social media untuk melupakan masalah personal ? Ya/Tidak
  4. Apakah kalian sering berusaha untuk mengurangi penggunaan social media namun tidak berhasil ? Ya/Tidak
  5. Apakah kalian merasa terganggu ketika kalian tidak bisa menggunakan social media ? Ya/Tidak
  6. Apakah kalian menggunakan social media terlalu sering, sehingga berdampak negatif ke pelajaran kalian ? Ya/Tidak

Kalau kalian menjawab Ya lebih dari 3 pertanyaan artinya kalian memiliki kecenderungan ketergantungan terhadap social media lebih besar. Nah, apakah yang dapat dilakukan untuk mengurangi ketergantungan social media ?

1. Social Media Detox

Kita dapat mengurangi dan membatasi penggunaan social media, berikan jam-jam tertentu untuk melihat social media.

2. Konsumsi hal-hal positif dan membangun dari social media

Seperti melihat quotes-quotes yang menginspirasi dan empowering. Karena diri kita sendiri yang dapat mengontrol apa yang ingin dikonsumsi di social media.

3. Balance/menyeimbangkan kehidupan di dunia nyata dan kehidupan dunia maya

Social Media versus real life perlu balance. Kuncinya ada pada diri sendiri untuk menyeimbangkan dunia nyata dengan kehidupan social media. Sehingga, penting untuk menjadikan social media membantu dalam kehidupan nyata.


Sumber:

Mulawarman, Nurfitri, A. D. (2017). Perilaku Pengguna Media Sosial beserta Implikasinya Ditinjau dari Perspektif Psikologi Sosial Terapan. Buletin Psikologi, 25(1), 36-44.

Hayes, C. (2018). Introvert Vs Extrovert Mana Yang Lebih Sukses?. Jakarta: Youtube.

Psikolog berpengalaman sebagi mentor sakti guna mengembangkan potensi anda